5 Keunikan Masjid Agung Surakarta
Rabu, Oktober 24, 2018
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Keunikan – keunikan
dari Masjid Agung Surakarta ini, sebenarnya baru saya ketahui setelah mengikuti
acara walking tour bersama teman – teman dari Laku Lampah. Laku Lampah sendiri
merupakan sebuah komunitas yang sering mengadakan tour dengan berjalan kaki, untuk mengunjungi kawasan yang masih
meninggalkan jejak – jejak sejarah di Kota Solo dan sekitarnya. Sebut saja seperti Kabupaten Kudus di Jawa Tengah dan Madiun yang ada di Jawa Timur.
Nah, untuk walking tour kali ini, tujuan kami
adalah Masjid Agung Surakarta yang lokasinya berada di sebelah barat alun –
alun utara Kota Solo. Dimulai dengan perkenalan secara singkat, kami yang
terdiri dari 10 orang peserta, kemudian mulai mendengarkan cerita serta
penjelasan – penjelasan yang disampaikan oleh Mas Fendy selaku guide dari tim Laku Lampah. Dimulai dari
menara masjid, berikut ada 5 keunikan Masjid Agung Surakarta, versi saya…
1. Ada menara dengan 8 pengeras suara
Sambil sesekali
membetulkan letak frame kacamatanya,
Mas Fendy mulai menyampaikan sedikit cerita tentang sebuah menara yang berada
di sisi utara Masjid Agung Surakarta. Dengan tinggi 33 meter, menara yang
terinspirasi dari arsitektur Qutub Minar di India ini masih kokoh berdiri meskipun
sudah berusia 90 tahun. Dibangun pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana X di
tahun 1928, menara yang berfungsi untuk mengumandangkan adzan saat memasuki
waktu sholat ini, ternyata memiliki 8 pengeras suara yang dipasang mengelilingi
dek pandang di bagian paling atas menara.
“Kalau mau naik ke atas,
sebenernya masih bisa. Tapi berhubung pintunya dikunci, mari lanjut ke
bangunan selanjutnya.”
2. Ada pagongan yang
berfungsi untuk meletakkan gamelan.
Selesai mendengarkan
penjelasan tentang menara, kami diajak untuk berjalan ke arah timur menuju Pagongan. Sebuah bangunan mirip pendapa
yang berada di sisi utara dan selatan masjid. Fungsi dari Pagongan itu sendiri adalah untuk meletakkan gamelan kraton sebagai
tanda dimulainya perayaan Sekaten. Nah, saya baru tau ini, lho. Ternyata saat Sekaten tiba, ada acara membunyikan gamelan di
depan Masjid Agung Surakarta. Saya kira tanda dimulainya Sekaten itu kalau
sudah ada pasar malem di kawasan alun – alun lor. Oh ternyata bukan, pemirsa...
Pagongan di sisi utara
3. Ada jam istiwa’ alias jam matahari.
Kemudian, di sisi
sebelah selatan –tepatnya di depan kantor
takmir masjid, terdapat sebuah jam istiwa’. Jam yang berdiri di atas tugu
setinggi 150 cm ini terdiri dari dua bagian, yaitu sebuah besi perak yang
berdiri tegak serta satu busur cekung yang terbuat dari tembaga. Jam istiwa’
paling sering digunakan untuk menentukan waktu sholat dhuhur, yaitu sekitar
pukul 12.00 siang.
Cara membaca jam ini pun
cukup mudah. Jika matahari tepat di atas kepala dan bayangan besi perak yang
berdiri tegak tidak terlihat, ini tandanya sudah memasuki waktu dhuhur.
Sementara bayangan dari jarum di atas busur cekung yang dilengkapi dengan angka
1 hingga 12, berfungsi untuk menunjukkan perkiraan pukul berapa waktu dhuhur
saat itu. Bisa pukul 12.00 kurang atau 12.00 lebih.
4. Ada Kampung Gedang Selirang.
Setelah selesai dengan
jam istiwa’, rombongan walking tour
kembali melanjutkan perjalanan ke arah utara masjid. Kami diajak untuk memasuki
semacam kompleks perumahan yang tidak terlalu luas, bernama Kampung Gedang
Selirang. Kampung Gedang Selirang menjadi sebuah kompleks yang di dalamnya
terdapat (sekitar) 10 rumah, yang dihuni khusus oleh para abdi dalem yang
mengurusi Masjid Agung Surakarta.
Salah satu sudut di Kampung Gedang Selirang
5. Ada prasasti keramik dan batu bata antik.
Berbeda dengan 4 hal
unik yang sudah saya sebutkan sebelumnya, dimana keempat – empatnya berada di
luar bangunan masjid, untuk prasati keramik dan batu bata ini, lokasinya berada
di dalam. Lebih tepatnya berada di pojok selatan – sebelah timur.
Menurut penjelasan
yang disampaikan Mas Fendy, karena sudah mengalami beberapa kali pemugaran,
keramik dan dinding masjid yang ada saat ini sudah diganti dengan keramik yang baru.
Nah, sebagai pengingat, maka disisakan beberapa petak keramik serta batu bata "asli" saat Masjid Agung Surakarta pertama kali dibangun.
Petak keramik "asli" Masjid Agung Surakarta
Tampilan dinding "asli" Masjid Agung Surakarta
Nah, itulah 5 hal unik
dari Masjid Agung Surakarta yang baru saya sadari setelah mengikuti walking tour bersama mas dan mbak dari
Laku Lampah. Oiya, untuk teman – teman yang sempat membaca tulisan ini, saya
minta do’anya untuk almarhum Mas Fendy, ya. Semoga almarhum diampuni segala
dosanya, diterima semua amal baiknya, dan keluarga yang ditinggalkan bisa tabah
serta diberikan kekuatan. Aamiin…
Terimakasih
38 comments
Wah baru tau ternyata ada jam mataharinya ya, jadi penasaran deh,...tapi kalo mendung gimana ya khan matahari nggak keliatan.
BalasHapusKalau mendung, mending pakai jam biasa aja, mas. Lebih gampang :D
HapusHeee, saya malah tertarik sama Jam Mataharinya deh, aslik ._.
BalasHapusBhaiqlah....
HapusMenaranya memang unik yaa,umurnya juga sudah 90 tahun oyee
BalasHapusLebih tua daripada usia saya, dan pastinya pancen OYEEE...
HapusKalau di Jakarta kayaknya enggak akan ada tempat gamelan gitu.
BalasHapusDari dulu saya bingung menentukan sekarang jam berapa dari bayangan gitu ketika pagi-sore. Males repot dan pusing, jadi ketika pas bocah saya main takut lupa waktu, mending tanya orang di sekitar situ sekarang udah jam berapa atau langsung tengok aja rumah yang pintunya kebuka, biasanya jamnya kelihatan. Ehe. Kalau saat ini udah punya hape, sekalipun lupa bawa jam tangan masih tersedia jam digital di ponsel. Wahaha.
Kok ujungnya bikin sedih, sih? :( *Alfatihah*
Saya pun. Dulu kalau udah azan ashar gitu aja, baru pulang ke rumah buat mandi dan lanjut ngaji. --'Alfatihah'--
HapusWah baru liat sayah bentuk jam matahari seperti itu ternyata. kalau tidak salah dulu orang-orang menggunakan bayangan matahari sebagai patokan waktu shalat ya?
BalasHapusSekarang rasanya hampir sudah tidak ada. Semua masjid rata-rata menggunakan jam digital.
Oya, Turut berduka cita ya untuk kepergian Mas Fendy. Raga bisa menghilang, tapi amal baik akan senantiasa dikenang :)
Iya, mas. Teknologi juga semakin maju, jadi sudah banyak yang beralih ke jam digital.
HapusAamiin.
kalo yang ngebaca engeh, jauh juga nih jalan-jalannya. dari kudus, sampe madiun. tapi kalo bareng-bareng gini seru sih.
BalasHapusbaca gini, gue jadi penasaran nyari komunitas yang jalan-jalan gitu juga di kota gue sekarang. ada enggak ya. heheh
dari 5 yang diceritain, gue penasaran sama jam matahari sih. sama kayak komen-komen sebelumnya. soalnya belom pernah ngeliat secara langsung bentukan jam matahari.
gue ke solo cuman numpang lewat terminal doang sih, enggak pernah jalan-jalan mengelilingi kota gitu.
harus di coba sih ini
dan semoga almarhum mas fendy ditempatkan di tempat yang terbaik. dan diampuni segala dosanya. amin
HapusWah, kalau ke Solo lagi, boleh dicoba itu jalan-jalan keliling Solo. Jangan cuma mampir dan nunut duduk doang. Hhehehe.
HapusAamiin
Wah unik juga iya mesjid agung surkarta.
BalasHapusSama ak jg tertarik pengin lihat jam mataharinya sama cara kerjanya.
Semoga tetap terjaga mesjidnya.
Owh turut berduka iya 🙏
Iya, terimakasih.
HapusMinta doanya, ya :)
aku penasaran sama jam matahari. Haha.
BalasHapusGa ngerti gimana baca jam matahari,
kan jarumnya cuma sebiji yak?
Iya. Kalau dari sumber yang saya baca sih, keliatan mudah. Tapi kalau suruh praktekin buat baca, mungkin saya juga bakalan bingung XD
HapusInnalillahi wa inna ilaihi raajiun. Turut berduka cita ya.
BalasHapusBtw, oot nih bulan depan di jogja ada walking tour juga, acara nasional kayaknya 😊
Terimakasih, Sha...
HapusWeh, kapan?
Pernah ke Masjid Agung ini sekali, di halamannya aja sih. Pengen masuk lebih dalam udah jiper dulu, ada tulisan non muslim dilarang masuk soalnya hehe.
BalasHapusApa iya, mbak? Malah nggak ngeh saya. Hehehe...
HapusSelalu suka dengan masjid2 mataraman gini sih. Teduh & adem.
BalasHapusDan baru tau itu ada bagian keramik & tembok lama yg di bingkai. wkwkwk
Saya juga baru tau pas ikutan walking tour beberapa bulan lalu, mas. Kalau kita nggak bener-bener merhatiin emang nggak begitu keliatan sih, karena posisinya dipojokan banget.
HapusMenarik jam mataharinya, ternyata bentuknya benar-benar sederhana, waktu aku ke solo kok ya enggak mampir ke masjid agungnya ya *tanya kenapa
BalasHapusCoba tanyakan pada rumput yang bergoyang, Mbak Ev :)
HapusPadahal ini lokasinya deket lho, di tengah kota
Di Bandung juga ada komunitas seperti ini, namanya Komunitas Aleut. Yang kusuka dari keraton ini justru warnanya, menurutku unik juga sih. Bukannya kuning, cokelat, atau hijau, Keraton Surakarta khas dengan warna biru. Sejuk, tenang...
BalasHapusIya, tapi ini bukan mbahas keraton. Mbahas masjidnya keraton. Wkwkwk
HapusSaya yang sering ke Solo malah belum pernah mampir Masjid Agungnya Solo. Kalo ke keratonnya pernah.
BalasHapusPadahal ini juga deket sama keraton. Pan kapan mampir lah...
Hapusmasjid dengan nuansa klasik selalu menarik
BalasHapuswow...foto fotonya keren.
BalasHapusthank you for sharing
Sama-sama
Hapusaku dulun kepo banget sama istiwa itu sampe jam 11an ke masjid jami malang
BalasHapusbiasanya ada kayak semacam tabel gitu biasanya di belakang kalender jaman baheula
aku masih gak paham tapi nentuin rumusnya
aku belum ke sini, ke solo gak jadi2 lagi hiks
Terlalu sibuk jalan-jalan ke luar Jawa Tengah sampeyan, mas....Hahahaha
HapusMirip masjid agung Kotagede. Apa mungkin karena sama2 ada hubungannya sama Keraton/Mataram ya...? Klo di Kotagede, malah ada makamnya juga.
BalasHapusMungkin mbak. Kalau makam di masjid ini, saya kurang tahu. Tapi biasane kalau masjid - masjid tua jaman dulu memang seperti itu, kan, ya?
Hapusjadi pengen kesana saya
BalasHapusPernah sekali kesini, menjelang maghrib, kemudian ikut sholat berjamaah. Saya suka suasana di masjid kuno seperti ini, teduh dan tenang.
BalasHapusYakin udah di baca? Apa cuma di scroll doang?
Yaudah, yang penting jangan lupa komen yes?
Maturnuwun ^^