Belajar Sejarah bersama “Nenek Moyang” di Museum Manusia Purba Sangiran
Sabtu, Januari 19, 2019
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Sebenarnya saya ogah – ogahan pas di ajak main ke Sangiran. Kenapa?
Karena dulu, saya sudah pernah berkunjung ke Museum Sangiran saat awal masuk
kuliah di Solo. Dan, yak, tentu saja!
Saya bukan termasuk orang yang terlalu suka untuk berkunjung ke tempat – tempat
seperti ini. He…. #peace ^^V
Sebagai alternatif, sebenarnya saya sempat menawarkan opsi
tempat lain ke teman – teman, tapi berhubung terkendala oleh beberapa faktor,
akhirnya, Museum Manusia Purba Sangiran tetap menjadi pilihan untuk menghabiskan
waktu akhir pekan kami berlima saat itu.
Ketemuan di Sangiran aja, ya?
Begitu bunyi pesan yang di kirim oleh Anang di grup whatsapp.
Setelah meng-iya-kan pesan di atas, saya dan tiga teman lain yang tersisa,
memutuskan untuk berangkat bersamaan dari meeting
point yang telah kami tentukan. Dimana? Mana lagi kalau bukan di Markas KSR
PMI Unit UNS. Sebuah ruang UKM ( Unit Kegiatan Mahasiswa ) yang kami ikuti selama berstatus sebagai
mahasiswa dulu. He…
Terima kasih, markas.
Telah mempertemukan kami dan menjadi tempat singgah ternyaman selama “numpang”
hidup di Kota Bengawan…
Kurang lebih pukul 11.00 siang, kami berempat berangkat dari
kampus pusat UNS. Panas yang ngenthang –
ngenthang (ngenthang – ngenthang
; satu istilah yang saya dapatkan ketika hidup di Solo, yang berarti panas pakai banget), jalan Solo – Purwodadi
yang lumayan nggronjal – nggronjal,
ditambah lagi dengan ramainya lalu-lalang kendaraan besar, seperti truk dan
bus, membuat perjalanan di siang itu terasa lebih panjang dan melelahkan. Kalau
boleh saya bandingkan, sensasinya mungkin hampir sama dengan perjalanan saya saat
berkunjung ke Pantai Kunir di Pacitan, 1.5 tahun silam.
Pertigaan depan,
jangan lupa belok kanan, Wis.
Siap, Cup!
Ucup yang membonceng di
jok belakang, mengingatkan saya untuk mengarahkan sepeda motor ke kanan, ketika
melihat gapura berdesain unik menuju Museum Sangiran di samping jalan. Pun
dengan Chika dan Ocha’ yang “mengekor” di belakang kami berdua.
Berbeda dengan ruas jalan Solo – Purwodadi yang cenderung bergelombang
dan ramai dengan kendaraan besar, jalanan dari gapura hingga gerbang masuk
Museum Manusia Purba Sangiran terbilang cukup halus dan sepi. Rem kaki yang
sebelumnya sering saya injak untuk mengurangi laju sepeda motor saat berpapasan
dengan kendaraan lain, perlahan mulai saya “tinggalkan”, dan lebih fokus untuk
menambah tarikan gas, agar si kuda besi melaju lebih cepat lagi.
10 menit berlalu, sampailah kami di depan pos ticketing. Hanya dengan
membayar retribusi sebesar Rp 40.000,- saja, kami berempat sudah bisa masuk ke
kawasan museum, tanpa harus membayar tiket lagi untuk masuk ke galeri utama / ruang pamer dan parkir motor. Tarif yang masih sangat terjangkau bagi kami, sobat – sobat misqin
perindu piknik, tentu saja!
Hal pertama yang kami lakukan setelah masuk dan memarkirkan sepeda motor, adalah sholat dhuhur. Selesai sholat di musholla dan bertemu Anang yang baru
pulang dari jagong, kami berlima mulai
berjalan kaki menuju galeri. Tak seperti Museum Nasional yang dibangun di atas
tanah datar dan berada di tengah – tengah Kota Jakarta, Museum Manusia
Purba Sangiran yang masuk di wilayah Kabupaten Sragen ini terletak cukup jauh dari
pusat kota dan berdiri di atas lahan yang “kurang rata”. Ya, semacam di
gundukan tanah yang membentuk bukit, kurang lebih, lah. Jadi, ketika akan
memasuki ruang pamer, pengunjung harus berjalan kaki menaiki beberapa anak tangga dan melewati
gundukan tanah purba yang terbentuk berabad – abad silam.
Museum Manusia Purba Sangiran sendiri memiliki 3 ruang pamer.
Ruang pamer 1 menjadi galeri yang digunakan untuk menyimpan beberapa koleksi
tentang kekayaan Sangiran. Di ruangan ini, pengunjung bisa melihat beberapa
fosil hewan yang pernah ditemukan di Sangiran, seperti tengkorak Banteng dan
gading dari Gajah purba yang berukuran cukup besar. Sementara di sisi lain, ada
sebuah diorama manusia purba yang pernah mendiami kawasan Sangiran. Kalau dari
hasil pengamatan saya, sepertinya patung “nenek moyang” ini sedang asyik
menikmati daging hasil buruan, sih…
Lanjut ke ruang pamer 2 yang berada di sisi bawah museum.
Ruangan ini akan menjelaskan tentang langkah – langkah kehidupan manusia. Nah, ada koleksi apa saja di ruangan ini? Banyak! Ada koleksi fosil hewan purba, cakar dari beberapa jenis dinosaurus, video dokumenter tentang
awal kehidupan alam semesta ( Video karya
Harun Yahya, kalau tidak salah ), patung – patung manusia purba, serta
beberapa tengkorak manusia purba dari masa ke masa, seperti Pithecantropus Modjokertoensis, Homo Erectus, dan Homo Sapiens.
Cakar yang dipercaya dari dinosaurus jenis Ornithomimus.
Nah, berbeda dengan dua ruang pamer sebelumnya –yang cenderung menampilkan banyak koleksi, di ruang pamer 3, pengunjung akan di buat takjub ( Ini sebenarnya saya yang terkagum – kagum, sih. Enggak tau kalau respon orang lain bagaimana. Hahaha ) dengan sebuah diorama berukuran sangat besar berbentuk dome, yang bercerita tentang kejayaan manusia Homo Erectus 500.000 yang tahun lalu. Tapi maaf – maaf, nih, nggak ada fotonya. Smartphone saya nggak support buat foto di tempat gelap. T_T
***
Yah, kurang lebih seperti itulah kondisi dari Museum Manusia
Purba Sangiran saat saya datangi bersama ke-empat kolega ( ( ( KOLEGA ) ) ) saya
di akhir tahun 2018 lalu. Satu hal yang menurut saya butuh perhatian lebih,
adalah tentang penerangan / lampu di ruang pamer. Dari pengalaman pribadi, ada
beberapa titik di ruang pamer yang cukup gelap dan minim penerangan. Alhasil,
kondisi ini malah dimanfaatkan oleh beberapa pasangan muda – mudi budak cinta ( kami menemukan 2 pasang waktu itu ), sebagai
tempat untuk memadu kasih. Bukan apa – apa. Sayang aja, misal tujuan utama di
bangunnya museum ini adalah untuk kepentingan pendidikan, eee… ending –
endingnya malah buat tempat pacaran, yang…..yah, seperti itulah :(
Oiya, buat kamu yang belum pernah mampir ke Museum Sangiran, jangan
kaget jika saat berkunjung kesini, nantinya kamu akan menemukan banyak patung
“nenek moyang” yang telanjang tanpa di sensor sedikit pun, ya? Wkwkwk…
Foto bersama kolega.
30 comments
Wah, bisa jadi salah satu tempat yang direkomendasikan ketika jalan-jalan ke Solo nih :D
BalasHapusBisa-bisa...
HapusJadi inget pelajaran sejarah pas smp nih, saya dulu suka banget baca soal manusia purba bahkan sampai ngapalin namanya juga. Sayangnya saya belum pernah ke sangiran, padahal pengen juga....
BalasHapusKarena saya termasuk sobat misqin, perindu piknik.
Tentu saja.
He...he....
Mau gabung menjadi member "Sobat Misquin Perindu Pikniq"?
HapusBisa klik link di bawah ini ya. Silakan isi form pendaftarannya...
Lha kok Chika dan Ochanya nggak dibonceng cowok aja yaaa kalau jalannya seramai itu?
BalasHapusKayanya belajar sejarah enaknya emang diajak langsung jalan-jalan ke museum lho. Jadi nggak cuma mengawang-awang dan memperhatikan gambar yang kadang udah dapat tambahan kumis pakai spidol lah dan lain-lainnya wkwk.
Agak tantangan juga emang kalau musti motret di tempat gelap :p biasanya aku nggak minat motret ahaha. Contohnya pas masuk di gua-gua, atau pas malam minim cahaya.
Mereka wanita penguasa jalanan kok mbak...Wk!
HapusSetuju. Kalau cuma ngawang-awang, selain materi susah masuk, juga gampang ngantuk *halah* Hehe, hasil e kurang sip ya mbak. Menuh - menuhin kartu memori, tok.
Wah kok sama yaa mas.. saya juga kurang begitu tertarik sama hal hal kayak gini. Hehehehe...
BalasHapusTapi kalau berhubungan dengan fosil fosil hewan purba macam banteng itu tadi atau dinosaurus saya suka... terlebih kalau ada ilustrasinya gitu, Hehehe...
Kalau bangsanya T-rex ngga hidup di daratan Indonesia yaaa :D :D
Kalau dinosaurus, kemarin kayaknya cuma cakar-cakar gitu, tok. Fosil lengkapnya, sepertinya nggak ada (apa ada, ya? saya lupa XD)
HapusBlm pernah ke sini. Kira2 mboseni nggak ya mas klo ajak anak2? Trus...di deket2 situ, ada alternatif tempat wisata apa lagi yang bisa satu paket...?
BalasHapusKalau mboseni, insyaallah enggak mbak. Isi museumnya menurut saya menarik sih. Komplit. Ada museum manusia purba juga. Jadi di kawasan Sangiran ada beberapa museum baru. Ada 2 apa 3 gitu mbak. Sama Waduk Kedung Ombo mungkin, kalau minat?
HapusKiranya Sangiran setipe lah dengan museum Trinil, iya kan? Sama-sama menampilkan sekelumit potret masa (super) lalu.
BalasHapusWaktu ke Ngawi juga diajakin tuh, sekalian mengunjungi adik. Tapi saya ga ikutan, lagi panas banget sih wkkwkwkw.
Mengunjungi museum belum menjadi 'my thing'. Hehe.
Tapi btw btw, jujur saya nih. Pendapat pribadi saya ya, diorama yang dipajang--orang zaman purba telanjang tengah berburu, wajah cenderung mirip monyet, saya tidak setuju.
Sebagaimana dalam agama Islam, manusia pertama adalah Adam. Dan yakinnya saya, tentu rupanya tidak mirip dengan kera. Pun telanjang.
Iya, Za. Setipe sama Trinil, karena sama-sama lokasi ditemukannya fosil manusia purba. Tapi kalau Trinil, saya juga belum pernah tahu dalemnya seperti apa.
HapusSiyap! (n_n)
Kalau udah pernah mah berasa sudah hafal tempat-tempat yang ada d.museum ya, Mas?
BalasHapusAku malah penasaran, Mas. Pengen mengunjunginya langsung. Ya, meskipun udah lihat foto-fotonya disini dan baca ceritanya juga. Eh, tapi kok ada aja yang orang yang manfaatin tempat seperti itu buat mojok.
Heran deh, selalu ada aja ya orang-orang gitu.
Iya, jadi kurang greget kalau udah pernah mampir. Rasanya beda.
HapusNah, itu. Di dalam museumnya lagi. Ckckck...
kurang lebih 7tahun lalu saya pernah ke museum ini bersama keluarga, memang tempat yang pas terutama untuk anak-anak belajar sejarah manusia.
BalasHapusdemikian juga ketika tak liat tombol follower blog ini ternyata saya udah follow...admin belum folbek kan....mantep deh...ehh
Apa iya? Sebentar pak, tunggu-tunggu. He...
HapusKarena rasa penasaran yang teramat tinggi dan merasa tidak pernah belajar itu di sekolah, saya langsung googling apa itu Pithecantropus Modjokertoensis dan ternyata beneran ada anjir. Kirain itu bagian dari rule of three hahaha. Pengetahuan sejarah saya kurang banget ya. Tapi kalau sejarah tentang mantan, saya khatam kok. Suer.
BalasHapusSaya nggak jago-jago juga kalau masalah teori standup comedy gini? *Rule of three teori di stand-up, kan, ya? Hahaha
HapusBelajar sejarah buat anak-anak memang susah. Kalau ke museum seperti ini anak-anak bisa memahami. Gak cuma membayangkan saja. Tapi kalau ada patung tanpa sensor, aku masih mikir-mikir deh ngajak anak-anak kecil. (Peace)
BalasHapusHehe, dan patung tanpa sensornya itu lumayan banyak sih mbak, di Museum Sangiran.
HapusBaca ceritamu di museum ini berasa lagi belajar ulang matpel IPS zaman SMP. Dulu saya suka sama sejarah-sejarah gitu. Pas main ke museum pasti demen banget baca-baca tulisannya. Sekarang entah kenapa ngantuk. Apakah faktor umur? :))
BalasHapusItu pose temenmu yang foto paling bawah kenapa kayak manusia purba dah? XD
Faktor usia juga bisa jadi, Yog. Misalkan baca tulisan, mungkin cuma sepintas tok, ya? Kalau udah paham, "oh begini to", lanjut jalan buat lihat koleksi lain yang ada di museum.
HapusSaya juga baru ngeh, pas udah mindahin foto ke laptop ini. Kemarin pas di TKP nggak sempet ngecek :D
Wahh kemaren ke soolo belum sempet mampir kesini hnmngg
BalasHapusYo, ke Solo lagi, yooo
Hapusaku rodo ora apal nama nama manusia purba hahha
BalasHapusYa, sekarang mari di hafal, ya...
HapusEh, kok museumnya seru ya.... liat-liat kakek nenek buyut.
BalasHapusAku suka banget nih jalan-jalan ke museum.
Suasana museumnya itu lho yang bikin enak, dan pingin balik lagi.
Aku belom pernah ke sini sih. Nanti lah, tambahin aja dulu ke daftar kunjungan.
Wah, berbanding terbalik dengan saya berati mbak. Saya nggak terlalu suka, kalau ke museum. Cepet bosen. Hehehe
HapusDolan dewe, May. Pendekar ogg XD
BalasHapusSaya kadang bingung mas Wisnu. Soal manusia purba ini dengan pemahaman soal Adam manusia pertama. Duh, ntar komenku SARA lagi. 😂 Tapi yang penting have fun banget jalan-jalannya mas. Saya juga suka banget ke tempatg sejarah. Terakhir pas ke Museum di Kota Tua Jakarta. Bagus banget. Mas Wisnu uudah pernah kesana belum?
BalasHapusYakin udah di baca? Apa cuma di scroll doang?
Yaudah, yang penting jangan lupa komen yes?
Maturnuwun ^^