Cerita dari Anak Seni yang “Enggak Nyeni-Nyeni Amat” saat Mengikuti Curatorial Tour Artjog 2019
Selasa, Agustus 27, 2019
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Sebuah Warning :
Seperti biasa, blogpost ini bakal
lebih banyak berisi tulisan curhatan, daripada cerita selama saya mengikuti curatorial tour di Artjog tanggal 20
Agustus 2019 lalu. Jadi, selamat membaca dan maap-maap, ya… ◕3◕)/
*** ***
Gelar pendidikan
terakhir saya, sih, memang S.Sn.
SEKOLAH-STANDAR-NASIONAL.
Bukan, ding, Sarjana Seni.
Tapi sebenernya, saya
itu enggak nyeni-nyeni amat.
BENERAN.
Ketika kebanyakan anak-anak
seni (terutama yang fokus di bidang seni
rupa) lihai menuangkan unek-uneknya kedalam sebuah sketsa melalui
goresan-goresan pensil atau semacamnya, saya sampai saat ini baru bisa
menggambar manual ala kadarnya. Bukan. Bukan karena enggak berbakat atau apa.
Ini sebenernya lebih ke faktor males karena tangan saya enggak pernah saya
latih buat nggambar aja. Alhasil, ya, jadi begini. Menjadi anak seni rupa yang
tidak jago nggambar. He…
Lagi, ketika sebagian
besar orang seni selalu diidentikkan dengan penampilannya yang unik dan
nyentrik, penampilan saya malah sebaliknya. Gaya berpakaian biasa-biasa saja. Paling
sekedar pakai kaos gratisan dari acara kepanitiaan kampus, celana jins panjang
yang warnanya mulai pudar, sama sandal jepit swallow warna hijaow. Sudah cukup.
Pun dengan gaya rambut orang seni yang biasanya gondrong atau mempunyai gaya
unik tersendiri, rambut saya malah cuma tak potong pendek rapi.
Sebenernya, jaman
kuliah dulu pernah, sih, nggondrongin rambut biar terlihat lebih edgy dan artsy. Heleh. Tapi durasi rambut gondrong saya itu pol-polan
hanya bertahan selama satu semester, alias enam bulan saja.
Kenapa? Karena setelah
enam bulan kuliah, otomatis liburan semester yang ekstra panjang akan segera datang.
Yang secara tidak langsung, mau tidak mau, selama liburan saya bakal pulang ke
rumah dan bertemu dengan bapak-ibuk. YANG MANA LAGI, ibuk saya ini sering
sekali mengomentari rambut gondrong sebahu hasil kerja keras serta kesabaran
saya dalam memanjangkan sang rambut selama satu semester nitip absen yang
berkedok kuliah di UNS Solo.
“Di Solo memangnya enggak ada tukang cukur apa, Rip (Nama
panggilan saya kalau di rumah, –Arip)?”
Kalimat di atas biasanya
bisa berkali-kali ditanyakan ke saya, selama rambut gondrong berpolem (poni
lempar) badai masih bertengger mesra di kepala. Ya, daripada membuat beliau risih
dan bisa berujung dengan tidak dianggapnya lagi saya sebagai seorang anak,
dengan sedikit berat hati, akhirnya, rambut rutin saya potong setiap enam bulan
sekali.
ENAM BULAN SEKALI (dengan catatan pas mau pulang ke rumah saja, hahaha).
**Setelah lulus kuliah, jadi makin sering malahan. Dua apa tiga bulan sekali saya rutin potong ke tempat cukur. Sebenernya pengen punya rambut gondrong lagi, tapi enggak tahu kenapa, rambut saya ini sekarang gampang rontok. Terutama rambut bagian depan yang dulu bisa dibuat model polem. Sekarang, mah, tinggal nyisa seupil dibagian tengah doang. Pernah saya coba panjangin lagi, jadinya malah aneh. Kaya’ rambut Deddy Corbuzier jaman dulu yang mirip bentuk love itu. Hawagu banget ogg, yowes, potong pendek weh!
**Setelah lulus kuliah, jadi makin sering malahan. Dua apa tiga bulan sekali saya rutin potong ke tempat cukur. Sebenernya pengen punya rambut gondrong lagi, tapi enggak tahu kenapa, rambut saya ini sekarang gampang rontok. Terutama rambut bagian depan yang dulu bisa dibuat model polem. Sekarang, mah, tinggal nyisa seupil dibagian tengah doang. Pernah saya coba panjangin lagi, jadinya malah aneh. Kaya’ rambut Deddy Corbuzier jaman dulu yang mirip bentuk love itu. Hawagu banget ogg, yowes, potong pendek weh!
Pernah gondrong dan berpolem (detail poninya kaya' di foto profil blog ini--wkwk). Terus karena rontok, kepala pernah saya botaki dan saya olesi minyak kemiri yang katanya bagus buat pertumbuhan rambut--tapi tetep aja enggak ngefek. Dan sekarang jadinya seperti foto pojok paling kanan. Rambut depan yang tumbuh cuma bagian tengah doang. Pinggir-pinggirnya ilang. T___T (ada, sih, tapi enggak bisa panjang).
Nah, satu lagi alasan
yang membuat saya mendapat predikat sebagai anak seni yang enggak nyeni-nyeni
amat adalah, enggak pernah dateng ke pameran seni.
Terakhir ke pameran,
kalau enggak salah pas jaman kuliah. Itu pun karena yang ngadain adalah
anak-anak Fakultas Seni Rupa dan Desain satu angkatan, yang otomatis saya dan
teman-teman kelas juga ikut jadi panitia, peserta, dan penonton pameran itu.
Hahaha. Payah sekali memang kalau dipikir-pikir saya ini. Ra nyeni blas!
Cerita
Menuju Jogja…
Mumpung selo (selo terus padahal), kerjaan beres, dan
alkhamdulillah masih dapet tiket kereta Prameks, akhirnya lima hari sebelum
pameran ditutup, berangkatlah saya ke Museum Nasional Jogja buat nonton Artjog
2019.
Setelah melewati drama
gagal membungkus nasi sayur untuk rapelan sarapan dan makan siang, karena harus
buru-buru masuk stasiun demi menuntaskan sebuah hajat mendesak bernama kér-bo
di let-toi-let stasiun, akhirnya, saya beserta ratusan penumpang Kereta Api
Prambanan Ekspres lainnya, perlahan mulai meninggalkan Stasiun Solo Balapan
menuju Kota Bakpia, Jogjakarta.
Deru mesin lokomotif yang
sesekali diselingi suara deritan roda gerbong kereta sepanjang jalur rel Solo –
Jogja, menjadi langgam “merdu” yang menemani perjalanan saya siang itu. Terdengar
harmonis dengan beragam aktivitas yang dilakukan oleh para manusia di dalamnya.
Ada yang fokus mengotak-atik smartphone,
ngobrol basa-basi dengan penumpang disebelahnya, melamun dengan tatapan kosong
ke luar jendela, tidur di atas kursi dengan berbagai gaya, serta tak lupa, saya
yang sedang asyik mengunyah sepotong Roti O demi tuntutan perut yang gagal nge-brunch nasi rames bungkus, karena
harus kér-bo di let-toi-let stasiun.
Tujuh puluh lima menit
berlalu, akhirnya rangkaian ular besi berwarna hijau abu-abu ini sampai di
Stasiun Tugu yang menjadi stasiun pemberhentian terakhir di rute perjalanan siang
itu.
Assalamualaikum,
Jogja, saya tiba…
Nah, niatan saya
setelah keluar dari stasiun, sebenarnya ingin langsung memesan ojek daring
menuju Museum Nasional Jogja. Tapi apa daya, sepotong Roti O dengan rasa kopi yang
saya beli, ternyata tak mampu memenuhi hasrat kenyang bagi lambung saya setelah
keluar dan turun dari kereta. Alhasil, saya putuskan untuk mampir nyari makan lagi
disekitaran Jalan Malioboro.
Mumpung masih ada waktu
sekitar ±30 menitan sebelum curatorial tour Artjog dimulai, oke, makan dulu.
Insyaallah masih kekejar waktunya!
*** ***
Setelah urusan makan
dan mengenyangkan perut selesai, saya langsung memesan ojek daring melalui gawai
yang saya bawa. Tiiiing…!!!
“Saya di pos satpam sebelah selatan mall, mas. Masnya jalan
kesini, bisa?”
“Baik, pak.”
Saya berjalan beberapa
langkah menuju titik jemput dimana pengemudi ojek daring yang saya pesan berhenti.
Antara kaget dan salut sebenarnya saat saya melihat foto beliau muncul di
aplikasi yang saya miliki. Kenapa? Karena selama saya menggunakan jasa ojek daring,
sepertinya baru kali ini saya mendapat pengendara se-sepuh beliau.
Pak Agus namanya. Sepanjang
perjalanan menuju Museum Nasional Jogja, sebenarnya beliau sempat bertanya dan
sesekali bercerita, tapi tak banyak kata yang berhasil saya dengar memang.
Seingat saya, Pak Agus bertanya kenapa saya pergi ke Jogja, kemudian, beliau
bercerita tentang ketertarikannya dengan ukiran-ukiran kayu dari Jepara.
Selebihnya, hanya terdengar suara kurang jelas yang saya timpali dengan kalimat
; “iya, pak”, “enggih, pak”, “oh, hehehe.”
Bukan berarti saya
enggak mau ngobrol, lho, ya. Maklum saja, ngobrol di atas motor yang melaju dan
pakai helm itu sering bikin telinga serta pendengaran kita agak “terganggu”,
bukan? Apalagi jalanan Jogja waktu itu juga ramai. Jadi, ya, seperti itu. Hehe…
“Sudah sampai ini, mas.”
“Oh, iya, pak.”
Melihat keramahan dan
semangat Pak Agus dalam bekerja di usia senja di hari itu, akhirnya saya
membatalkan tarif promo dan membayar beliau dengan tarif standar sesuai yang
tertera di aplikasi awal.
Sambil melepas helm
dan menyerahkannya kembali ke Pak Agus, saya mengucapkan terima kasih, lalu
berjalan dengan langkah kecil menuju musholla di depan Museum Nasional Jogja
untuk melaksanakan sholat, karena waktu ashar telah tiba. Terima kasih, Pak
Agus. Sehat-sehat, ya, pak…
Cerita di Curatorial
Tour Artjog 2019…
Selain pameran karya
seni, Artjog 2019 juga memiliki agenda lain yang berbeda setiap harinya. Ada meet the artist, daily performance, workshop, serta satu acara khusus yang
saya ikuti, yaitu curatorial tour.
Apa itu curatorial tour?
Istilah gampangnya,
mah, muter-muter ke ruang instalasi
seni dengan didampingi oleh tim kurator dari Artjog. Jadi selama berkeliling,
para peserta bakal mendapat penjelasan tentang karya yang di display. Mulai dari konsep karya, hingga
printilan-printilan detail dari karya yang ada. Jika masih penasaran dan pengen
tahu lebih dalam lagi tentang karya-karya di Artjog, tanya-tanya langsung ke
kuratornya juga bisa. Program yang pas banget, kan, sama saya yang “enggak
nyeni-nyeni amat” ini.
“Curatorial tournya udah mulai itu, mas. Kalau mau ikut, bisa
langsung nyusul aja, nggakpapa. Barusan aja, kok, jadi mungkin baru di ruangan
deket pintu masuk itu.”
Setelah membayar dan
tiket sudah di tangan, akhirnya saya buru-buru masuk ke Museum Nasional Jogja untuk
mencari rombongan curatorial tour sesuai
arahan dari mbak-mbak yang bertugas dibagian ticketing. Alkhamdulillah, baru sampai di ruang instalasi kedua.
Masih aman.
1. Taman Organik Oh
Plastik…
Oiya, sebelum bertemu
dengan rombongan curatorial tour, saya
sempat melewati satu instalasi karya Handiwirman Saputra yang berjudul Taman
Organik Oh Plastik. Handiwirman menggarap instalasi ini dari gagasan dasar tentang
“membangun taman”. Umumnya, sebuah taman dibuat untuk kebutuhan maupun
kesenangan estetik manusia dalam menikmati kehidupan bersama alam. Tapi
sekarang, terutama setelah gaya hidup hijau didengung-dengungkan sebagai
penawar kerusakan alam akibat modernisasi dan industrialisasi, taman menjadi
elemen yang penting, sekaligus simbol
prestise, dalam pembangunan properti dan tata kota.
Melalui “Taman Organik
Oh Plastik” inilah, Handiwirman mempertanyakan estetika sebuah taman, terutama
ketika batasan yang alami dan yang artifisial begitu sulit untuk ditetapkan. Ia
menganggap, bahwa kesenangan kita pada taman, justru mencerminkan obsesi
manusia modern pada keartifisialan. Taman pada dasarnya hanyalah miniatur dari suatu
habitat atau lanskap alam semata.
Dalem banget nggak,
sih, story behind the artwork-nya?
Saya ngangguk-ngangguk, lho, pas baca konsep karya dari Handiwirman ini. Dalem
parah!
Enggak cuma konsepnya
aja yang oke, eksekusinya juga mantap. Lihat saja, tanah di depan Museum
Nasional Jogja sampai digali dalam-dalam demi instalasi “Taman Organik Oh
Plastik” ini.
2. Daun Khatulistiwa…
Instalasi keren
berikutnya, ada Daun Khatulistiwa karya Teguh Ostenrik. Berawal dari
kecintaanya pada seni dan laut, di tahun 2013 Teguh Ostenrik memulai proyek
“instalasi dalam air” yang disebutnya dengan proyek “ARTificial Reef”. Dimulai dengan pembuatan delapan buah patung
logam yang dirancang khusus untuk tempat bertumbuhnya koral, Teguh terus
melanjutkan proyek ini hingga terciptalah Daun Khatulistiwa sebagai ARTificial Reef-nya yang kesembilan.
Mungkin dari luar
memang hanya terlihat ¼ bagian kubah berukuran kecil saja. Tapi ternyata,
instalasi Daun Khatulistiwa ini baru menampakkan “keajaibannya” ketika para
pengunjung masuk ke dalam kubah melewati pintu kecil yang tertutup kain.
Di dalam kubah yang
berukuran cukup besar ini, pengunjung akan dipertontonkan sebuah video tentang
lautan yang “memberikan” keuntungan kepada manusia serta alam, namun sering
dirusak oleh tangan-tangan manusia itu sendiri. Dari sinilah, muncul ajakan
dari Teguh Ostenrik untuk mulai menjaga laut agar ekosistem dan kehidupan di
lautan tetap lestari.
Yang saya salut lagi,
ternyata kubah Daun Khatulistiwa ini dibuat tak hanya sekedar dijadikan
instalasi untuk pameran Artjog 2019 saja, lho! Rencananya, setelah Artjog 2019
selesai, Daun Khatulistiwa akan diceburkan ke Pantai Jikomalamo yang ada di
Ternate, sebagai media untuk bertumbuhnya karang di kawasan pantai tersebut. Mantap
jiwa! Lanjut terus Pak Teguh dan tim!
Sedikit video suasana di dalam kubah Daun Khatulistiwa.
3. Lamditi, The King,
Mel Iyaan…
Berkolaborasi dengan
penulis Andries Sembiring, pendeta Disraedon Bill Romero Sihaloho, S.Si (Teol),
serta musisi Philip Darsono, Agan Harahap mengangkat sebuah fiksi yang
terinspirasi dari sejumlah mitos, legenda, dan cerita-cerita rakyat lokal ke
dalam karyanya.
Di ruangan ini (kalau saya tidak salah ingat), ada enam
karya dari Agan Harahap. Tapi yang membuat saya tertarik adalah tiga karya di atas,
yaitu Lamditi (kiri), The King (tengah), serta Mel Iyaan (kanan). Ketiga karya
ini menjadi satu karya fiksi yang mengisahkan tentang kehidupan asmara dari
seorang wanita bangsawan (Lamditi) dengan seorang pemuda biasa bernama Egel.
Karena perbedaan status sosial inilah, kisah cinta mereka berdua tidak direstui
oleh keluarga Lamditi, terutama dari sang ayah (The King) dan kakak
laki-lakinya (Mel Iyaan).
Hingga pada akhirnya,
munculah sebuah rencana dari ayah Lamditi dan sang kakak untuk menyingkirkan Egel
dari pulau tempat tinggal mereka. Rencana pembunuhan ini dilakukan saat para
pemuda pergi melaut untuk menangkap ikan di malam hari. Dengan skenario “perahu
yang ditumpangi Egel terpisah dari rombongan”, rencana inipun berhasil
dilaksanakan.
Fiksi hasil kolaborasi
Agan Harahap dengan beberapa tokoh inipun berakhir dengan cerita yang cukup
menyedihkan. Dengan posisi Lamditi yang tengah mengandung, dia harus menerima
keadaan bahwa Egel tak pernah kembali dari melaut. Remuk redam, jatuh sakit,
hingga akhirnya dia berlari ke tengah lautan da menghilang.
4. Unlimited…
Sebuah karya yang
bercerita tentang tantangan atau masalah-masalah yang hadir beriringan dalam
kehidupan manusia. Masalah ini divisualisasikan kedalam bentuk lingkaran, yang
mana masing-masing lingkaran memiliki “sosok imajinasi” dari persoalan yang
berbeda-beda. Meskipun begitu, adanya masalah bukan berarti menjadi bagian
tergelap dan terburuk bagi manusia, karena “mereka” tetap bisa hadir mewarnai
kehidupan yang telah diciptakan oleh Tuhan.
Instalasi ini
merupakan karya dari duo seniman muda, Robet dan Olga. Tidak hanya berkolaborasi
untuk membuat karya seni saja, ternyata mereka ini juga “the real artist couple” yang baru saja menikah, saudara-saudara. Happy wedding…
**Sebuah info yang
saya dapatkan setelah melihat instastories
temen, yang ternyata temen saya ini adalah temennya Mbak Olga pas jaman SMA.
Dunia sesempit itu, ya?
5. Mendekolonisasi…
Selain Daun
Khatulistiwa, Mendekolonisasi juga menjadi salah satu karya di Artjog 2019 yang
bercerita tentang isu lingkungan. Karya ini merupakan hasil dari penelitian
yang dilakukan oleh Mary Magic saat terlibat dalam Jogja River Project (JRP), sebuah program yang bertujuan untuk
merehabilitasi perilaku warga disekitaran Kali Code – Jogjakarta, atas sungai
dan air.
Kiri : Recombinant Commons & miniatur sungai yang terbuat dari bambu, agar-agar (sudah kering karena hampir satu bulan di display), serta sampel fungi (ada di wadah bulat bening). Kanan : Porositas Radikal.
Ada tiga instalasi
seni di ruang Medekolonisasi karya Mary Magic. Dua buah “Porositas Radikal”
yang merepresentasikan kotornya Kali Code dengan sampah plastik, sebuah
miniatur sungai yang terbuat dari bambu, agar-agar, dan sampel fungi yang
menjadi medium persemaian mikro-organisme Kali Code, serta satu visual project yang berjudul “Recombinant Commons”. Tak hanya
totalitas dipengerjaan visualnya saja, bahkan, Mary Magic juga benar-benar
“menghadirkan” aroma khas sampah yang tercium cukup tajam di ruang pamernya.
Nah, trilogi karya ini
menjadi sebuah ikhtiar dari Mary untuk menumbuhkan empati warga akan lingkungan
alamnya, serta mencari kemungkinan untuk menghentikan “kolonisasi sampah
plastik” yang sering terjadi di sungai-sungai.
Merupakan karakter
imajiner yang merepresentasikan manusia modern yang mencintai pengetahuan (Homo scientia). Karakter ini
digambarkan oleh sang kreator, Samsul Arifin, melalui sosok boneka kain goni bermata
besar (menggambarkan rasa keingintahuan
yang tinggi), serta pensil yang tertanam dibagian tubuhnya.
Satu hal yang menarik,
meski menyandang predikat Homo scientia, para
Philonoist sebenarnya juga menjadi sosok Homo
avertia yang memanfaatkan ilmu sebagai perangkat untuk memenuhi nafsu
serakah mereka.
Mirip sama makhluk
Tuhan bernama hooman ini, mah…Wkwkwk.
*** ***
Baiklah, itu dia
cerita dari enam karya yang menarik perhatian saya ketika mengikuti curatorial tour Artjog 2019 lalu. Oiya, ngomong-ngomong
masalah cerita, saya jadi inget dengan salah satu tweet dari om @pinotski yang
ini :
Dan benar memang. Saya
pun mengamini hal ini. Selain bisa membantu untuk menyampaikan maksud dari
terciptanya sebuah karya, menurut saya, cerita juga mampu memberikan “nyawa”
tersendiri yang bisa membedakan antara karya seni satu dengan karya seni yang
lainnya.
Ingat, karena tanpa
cerita, gambarmu (karyamu) nggak punya value.
BISU.
*** ***
Untuk karya-karya
lain, nanti saya kasih foto-fotonya saja, ya. Enggak kalah aesthetic dan
menarique, kok. Pengen nulis beberapa konsep karya lagi sebenernya, tapi kok
pas melihat jumlah kata dari tulisan ini sudah menyentuh angka 2.316, jadi saya
urungkan. Terima kasih curatorial tour
Artjog 2019. Dua setengah jam berkeliling melihat karya-karya di Museum
Nasional Jogja, jadi terasa “sak-nyuk-an”
saja.
27 comments
Hebat euy, karya agung anak bangsa.
BalasHapusProud of you!
Prok-prok-prok (๑˃̵ᴗ˂̵)و
HapusSaya baca yang bagian daun khatulistiwa jadi sedih.
BalasHapusSebegitu banyaknya lautan (atau alam secara keseluruhan) memberi kita sebagai penunjang hidup, tapi masih banyak manusia (dan saya juga) yang kurang berkontribusi (atau malah ga sadar) tentang lingkungan.
Sarjana seni gak nyeni?
Saya sarjana bahasa Arab gabisa bahasa Arab ._.
Sama-sama menyedihkan ga sih wkwkwkw.
Nggak percaya saya, mah... Hahaha :D
HapusWahaha. Kayaknya ibu kita sama, Mas Wis. Gondrong sedikit pasti dikomentarin suruh cukur. Padahal belum sampai menyentuh bahu, baru menutupi kuping macam anak-anak emo. Kalau zaman kuliah saya justru enggak bisa gondrong karena waktu itu sekalian bekerja. Kantor mengharuskan karyawannya berambut klimis. Ketika udah kerja lepas dan yang dituju kantor bidang kreatif, baru deh bisa rambut sebahu.
BalasHapusSaya suka sekali dengan Daun Khatulistiwa yang bertemakan laut itu. :)
Omong-omong soal twit Pak Pinot, saya selalu menerapkannya. Saya tahu, saya belum -atau bahkan enggak- kompeten di bidang desain dan fotografi. Makanya saya berusaha buat menyiasatinya dengan berbagai kisah di caption. Tak apalah gambarnya biasa aja, yang penting ceritanya bisa memukau dan jadi nilai tambah. Ehe.
Sama berarti, saya awal-awal kerja juga ada aturan rambut harus klimis rapi berpomade. Sebagai kaum-kaum gondrong, agak "berat" pas harus njalanin itu. Tapi ya gimana lagi. Aturan dari manajemen harus dilaksanakan, bosque xD
HapusMantap! Tapi setelah baca tweetnya Om Pinot sama follow Instagramnya @amrazing, sekarang saya jadi "doyan" baca kepsyen yang panjang-panjang. Ternyata sering nemu cerita menarik dari sana.
Tiap2 karya seni punya filosofi sendiri2 berdasarkan imajinasi sang penciptanya. Selalu suka melihat hasil seni yang nyleneh....
BalasHapusIya, Mas Adi. Mereka punya ceritanya sendiri-sendiri
HapusBentar, dari Wisnu Tri jadi Rip itu gimana ceritanya? Haha.
BalasHapusAku pikir kamu akan menceritakan karyamu ditampilkan di ArtJog 2019 sebagai seniman, Wis. Namun tidak apa-apa, aku tetap menikmati foto-fotonya. Tahun ini gak jadi ke ArtJog lagi karena bertepatan dengan acara lain. Semoga tahun depan bisa ke sana. Oh iya, fotomu yang botak mirip Felix Siauw. Hahahaha
Arif itu diambil dari kata terakhir nama panjangku, Man.
HapusKaryaku belum lolos proses kurasi *halah sok-sokan--hahah*
Assalamualaikum, sahabat Felix Siauw XD
Oh...aku malah nembe ngerti, UNS ki ada fak seni to?
BalasHapusTak pikir dirimu anak komunikasinya UNS.
Aku blm pernah ke event2 seni gitu..wong jogja, tp blm pernah nengokin artjog
Ada mbak. Dulu masuknya di Fakultas Sastra dan Seni Rupa, tapi per 2015 udah jadi fakultas sendiri. Jadi Fakultas Seni Rupa dan Desain.
HapusNggak salah juga sih, mbak. Nama jurusanku juga ada embel-embel 'komunikasinya', kok. Hehehe
Suka mikir yang punya karya keren2 di atas dapat ide dari mana yah... bakat dan kecerdasan tersendiri tentunya yah
BalasHapusSebagian besar ide-ide mereka muncul dari pengalaman pribadi sang seniman mas, malahan. Jadi pas di eksekusi menjadi sebuah karya seni, punya cerita personal tersendri.
HapusNah mengubah ide menjadi karya seni tuh butuh bakat dan kecerdasan tersendiri rasanya
HapusPercayalah, meski saya sudah 12 tahun di Jogja; tapi belum pernah sekalipun ke ArtJog hahahahahahhahah
BalasHapusTahun depan mas. Hahaha
HapusWaaah temen gue banyak yang ke sana nih. Gue gabisa karena takut ngerecokin. Hehehehe. Ada nggak ya di antara semua seniman itu yang... iseng aja gitu. Geletakin karyanya, terus ceritanya, "Iseng aja bikin ginian." :p
BalasHapusAda mungkin. Hahaha.
HapusTapi kayaknya nggak ada ding, Di. Lhawong mereka aja bikin karya-karya ini udah jauh-jauh hari--bahkan bulan, jadi saya yakin, mereka nggak cuma sekedar "asal taro" aja. *sok tahu beut*
gagal fokus sama twit dari pinotski itu..
BalasHapuswih.. ngeri juga ya dosen seni.. hehe
gambarnya bagus, tapi kalau tidak bercerita, tidak punya value, bisu. masuk tempat sampah pun gak masalah.
hiks.. terpotek hati ku kalo digituin dosen.. huhu
Untung mas/mbak mahasiswanya bisa spontan njawab, ya, mbak. Jadi aman :)
Hapuske artjog dari dulu gak bisa mengartikan karya seni, tahunya ini bagus, keren, enak untuk di foto, duh...ini keren bisa ngejelasin maksutnya ini to kemarin di Artjog itu
BalasHapus*padahal sebagian besar hasil mbaca konsep karya yang ditempel di deket instalasi* Wkwkwk
HapusTolong sertakan juga biodata nama lengkapmu, Wis. Biar kami tidka kebingungan kenapa dipanggil "RIP". RIP my long hair.
BalasHapuskayaknya dalam desain, cerita emang selalu diperlukan dan jadi poin penting sih. di dunia arsitektur, belom jadi bangunan baru gambarnya, itu garis atau tarikan satu garis saja harus ada penjelasan atau ceritanya. "kenapa ada list di tembok depan rumah di gambar tersebut?" kenapa harus garis lurus, tak bisakah melengkung... dan sebagainya...
walo kata orang "aku tak perlu menceritakan gambarku, gambar sudah menceritakan semua" namun pengalaman orang berbeda, jika orang tidak mengalami experience seperti pembuat art-nya, bsia saja dia akan berpikir itu art kosong. sampah. namun jika dikatakan, dibilang tak berjiwa seni. suruh ceritakan tak mau.
mending kumain ke blog yoga saja, cemilan saja dijadiin cerita panjang.
Baiklah, nanti tak ngedit materi di tab "about me" dulu. Tak tambahi nama lengkapku.
HapusTak kira arsitektur lebih ke masalah desain dan pergitungan (((PERHITUNGAN))) angka-angka aja, ternyata ada penjelasan juga kenapa harus ini, kenapa harus itu?
Anjir, malah sampai ke blognya si Yoga segala. Hahaha
Aku aku aku aku juga ke sana mas. Gak nanya kan? Ya gapapa.
BalasHapusKemarin sempet baca tulisannya juga sih. Hehehe
HapusYakin udah di baca? Apa cuma di scroll doang?
Yaudah, yang penting jangan lupa komen yes?
Maturnuwun ^^