Menuntaskan Rindu dengan Sego Gablok Tawangmangu
Rabu, November 13, 2019
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Sepulang dari tempat
kerja, saya langsung mengemudikan sepeda motor untuk kembali menerjang panasnya
jalanan Kota Solo yang beberapa waktu lalu sempat menyentuh angka 41oC
itu. Sambil terus menarik gas agar sepeda motor tetap melaju, kedua mata saya
yang kini sudah berkacamata, sesekali menatap sebuah gundukan tanah tinggi yang
terletak di ujung timur “Bumi Intanpari”.
Hai, Lawu, sudah lama aku tak mengunjungimu…
Hah, tak usah
muluk-muluk berucap untuk “mengunjungi”, sekadar mampir ke lereng Lawu yang dipenuhi
dengan tempat-tempat wisatanya saja, saya sudah lupa kapan tepatnya. Mungkin, membaca
ulang tulisan tentang Kawah Candradimuka yang ada di blog ini, bisa menjadi sedikit
pengingat, kapan terakhir kali saya melakukan perjalanan di sekitar gunung yang
menyimpan banyak misteri ini.
Oh, ternyata sudah lebih dari satu tahun yang lalu. Saatnya saya
“kembali” dan menuntaskan rindu dengan atmosfer Lawu.
Sengatan matahari
masih setia membersamai perjalanan yang saya lakukan seorang diri. PENDEKAR,
KOK, PIE! Setelah berpacu dengan waktu dan puluhan kendaraan beroda di
jalan raya, saya kemudian mengarahkan sepeda motor menuju kawasan wisata Tawangmangu. Seperti
biasa, jalan Solo – Matesih masih menjadi pilihan pertama saya untuk mencapai ke
salah satu kecamatan yang berada di lereng Gunung Lawu itu. Selain kontur jalannya
yang lebih landai serta minim tikungan tajam, alasan lain yang membuat saya
lebih memilih jalur Matesih adalah, jalur ini menawarkan pemandangan alam yang tak
kalah menarik dengan jalan Solo – Tawangmangu via Karangpandan. Sebut saja
seperti gagahnya pemandangan Gunung Gamping yang bisa kita nikmati dari sisi
jalan.
Gunung yang lebih
tepat disebut dengan bukit ini memang memiliki ketinggian di bawah 2000 meter
di atas permukaan laut, tapi percayalah, pemandangan dari atas puncaknya juga tetap
mampu memanjakan mata.
Pemandangan dari atas Gunung Gamping - Desember 2016
Setelah kurang lebih enam
puluh menitan menakhodai kuda besi, sampailah saya di satu titik yang menjadi pusat
keramaian di Kecamatan Tawangmangu. Lalu-lalang bus berukuran sedang yang
menaikturunkan penumpang di terminal, seakan ikut menyambut kedatangan saya yang
membawa sepikul rindu dengan segala macam aktivitas yang terjadi di lereng
Lawu. Pun dengan pemandangan khas dari gerobak dagangan dan warung-warung yang
berjajar di pinggir jalan. Mereka seolah menjadi “among tamu” yang ramah dengan mempersilakan para pendatang untuk segera mengeksplorasi dan mencicipi beragam kuliner
daerah pegunungan yang dijajakan. Molen, gorengan, sate kelinci, jagung bakar,
serta tak ketinggalan, pentol kuah dengan sambal pedasnya yang siap menggoyang
lidah.
Bukan. Bukan tak mau berhenti
dan mencicipi, tapi intuisi mengarahkan saya untuk terus mengendarai sepeda
motor menuju ke daerah yang lebih tinggi, melewati barisan gerobak dan warung jajanan
yang ada di sekitar Terminal Tawangmangu.
Baiklah, mungkin mampirnya pas sekalian arah pulang saja…
Dengan sedikit
tersendat, sepeda motor berwarna merah kombinasi hitam yang saya bawa, berusaha
merangkak melewati jalan tanjakan menuju kawasan Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu
yang menjadi gerbang pendakian ke puncak Gunung Lawu. Ternyata, satu tahun
lebih tak pernah menjamah jalan tembus Tawangmangu – Sarangan, banyak perubahan
signifikan yang terjadi di bahu jalan. Yang paling terasa, tentu saja mulai munculnya
beberapa kedai kopi kekinian dan menjamurnya warung-warung yang sering
dijadikan sebagai rest area, lengkap
dengan bangunan spot foto hits “bunga-bunga” dan “simbol cinta”.
Salah satu kedai kopi yang ada di sisi jalan tembus Tawangmangu - Sarangan
Semakin berjalan ke
atas mendekati kawasan Cemoro Kandang, pemandangan deretan warung dengan spot
foto hits ini perlahan akan sedikit berkurang dan mulai tergantikan dengan
beberapa tempat wisata keluarga (yang masih “menjual” spot foto hits ala-ala,
tentu saja), serta barisan ibu-ibu penjual stroberi yang mendisplai barang
dagangannya di gubuk-gubuk kayu sederhana.
Habis di dalam kamar kos
Pintenan niki, buk?
Tumpukan stroberi yang
tertata rapi di bakul plastik warna-warni itu berhasil menarik saya untuk menghentikan
laju sepeda motor dan menanyakan harga per satu bakul stroberi ke salah satu
ibu penjual.
Sing stroberi-ne ageng-ageng, tiga lima-an, mas. Nek sing
alit-alit niki, selangkung.
Oh, tak mendhet sing tiga lima-an mawon, buk, setunggal.
Jujur, saya kurang
paham masalah harga perstroberian. Jadi tanpa basa-basi melakukan proses
tawar-menawar, setelah mendengar harga yang diucapkan oleh sang ibu penjual,
saya langsung memilih bakul yang berisi stroberi berukuran besar-besar dan
menyerahkan uang pecahan lima puluh ribuan sebagai uang pembayaran.
Bukit Mongkrang yang ada di Cemoro Kandang
Baskara masih tetap bersemangat
menyorotkan binar panasnya. Saya yang sudah sedikit menemukan penawar rindu
berupa sewadah stroberi dan terpaan udara dingin di daerah Cemoro Kandang,
kemudian memutuskan untuk kembali turun ke kawasan terminal karena masih
memiliki satu hajat penting yang belum tertuntaskan; mencicipi kuliner di sekitar Terminal
Tawangmangu.
Putaran roda sepeda
motor perlahan berhenti, saat saya menarik rem tangan dan menginjak rem kaki.
Setelah melewati rute menurun dari Cemoro Kandang menuju Terminal Tawangmangu,
sampailah saya di titik pemberhentian berikutnya; sebuah lapak dagang
sederhana yang menjual nasi sayur, bubur, pecel, serta satu kuliner khas daerah
Tawangmangu bernama sego gablok.
Kuliner berbahan dasar
beras ini berhasil saya temukan di sebuah “warung makan” yang berada di sebelah
timur terminal. Lokasi tepatnya, ada di depan Kantor Koramil Tawangmangu.
Meskipun hanya terdiri dari beberapa meja dan beratapkan sebuah payung besar
saja, lapak yang dilayani oleh dua orang ibu-ibu penjual ini nyatanya cukup
ramai dari serbuan para pembeli.
Mulai sepi : sesaat sebelum saya pulang meninggalkan lapak sego gablok Tawangmangu
Tak berselang lama setelah kedatangan saya, tiga
orang pembeli yang lebih dulu mengantre, sudah duduk manis menikmati hidangan
sesuai pesanan mereka. Saya yang berdiri di antrean selanjutnya, melangkahkan
kaki dan berjalan mendekat ke arah ibu penjual untuk memesan seporsi sego
gablok, lengkap dengan satu gelas es teh manis yang diberi beberapa potong irisan
buah jeruk. Es teh kampul, begitu orang-orang Solo menyebutnya.
Mang mendhet piyambak mas. Setunggal nopo kalih, monggo… Bebas.
Oh, nggih, buk…
Kalimat instruksi yang
keluar dari mulut ibu penjual, menjadi pertanda bahwa pembeli sego gablok seperti
saya, bisa dengan bebas melayani diri mereka sendiri.
Setelah menerima piring keramik yang biasa digunakan sebagai tempat makan, sesuai arahan ibu penjual, saya kemudian mengambil dua buah nasi gablok yang terbungkus rapi dengan daun pisang berwarna hijau kecokelatan. Sebagai pelengkap, bothok, olahan mie goreng, serta satu butir telur ayam saya pilih menjadi menu tambahan untuk menikmati gurihnya sego gablok khas Tawangmangu yang menjadi hidangan penuntas rinduku di siang itu.
Setelah menerima piring keramik yang biasa digunakan sebagai tempat makan, sesuai arahan ibu penjual, saya kemudian mengambil dua buah nasi gablok yang terbungkus rapi dengan daun pisang berwarna hijau kecokelatan. Sebagai pelengkap, bothok, olahan mie goreng, serta satu butir telur ayam saya pilih menjadi menu tambahan untuk menikmati gurihnya sego gablok khas Tawangmangu yang menjadi hidangan penuntas rinduku di siang itu.
39 comments
duh segonya menggoda bangettt, icip dikit dong :P
BalasHapusSilakan...
HapusDua kali menyempatkan, eh lebih tepatnya diniatkan untuk beli sego gablok ini berakhir dengan kecelik alias belum jodoh.
BalasHapusAda satu magnit untuk menarikku kembali ke Tawangmangu itu mendatangi Dusun Nglurah (mborong tanaman) dan tetep pingin ngicip sego gablok ahaha.
Pemandangan Sarangan-Tawangmangu masih banyak spot ala-alanya to? ahaha
Terima kasih lho, Mbak Dwi. Berkat tulisan di blogmu, saya jadi tau apa itu sego gablok. Dan alhamdulillahnya, saya cuma kecelik satu kali. Hehehe.
HapusMasih ada mbak.
Lihat stroberi segede gitu langsung jadi pengin beli jus di deket rumah. Hadah. Gampang pengin sama yang seger-seger kalau cuaca panas begini. Tapi yang dijadiin jus pasti kecil-kecil.
BalasHapusOh, namanya es teh kampul yang begitu. Hari ini saya mendapatkan istilah baru.
Itu sego gablok di deket-deket Stasiun Solojebres dan Pasar Triwindu ada enggak sih, Wis? Apakah dijualnya cuma di sekitaran terminal dalam tulisanmu aja? Soalnya seingat saya waktu main ke sana enggak sempet lihat ada kuliner sejenis itu.
Saat baca kata "bothok", baru sadar udah bertahun-tahun enggak makan itu. Jarang merhatiin menu di warteg sih selain jajan sego megono.
Setauku di Solo belum ada yang jualan sego gablok sih, Yog.
HapusWah,saya malah kebalikannya. Semenjak di Solo udah jarang banget makan megono (enggak pernah malahan, ding) . Kudu pulang ke Purworejo dulu, baru bisa icip-icip kuliner enak ini.
Porsi sego gablok itu kayaknya sedikit, ya? Cocok buat sarapan dong, ya. Terus es teh kampulnya dikasih irisan jeruk itu jeruk apa? Jeruk lemon, nipis, atau buah jeruk yang biasa dimakan langsung?
BalasHapusMarem ndelok stroberine gedi-gedi.
Dikit memang, Wi. Kamu beneran asli Purworejo, kan? Tau "tum-tuman"? Nah, ternyata sego gablok itu adalah nasi tum-tuman versi Karanganyar. Hehe.
HapusBisa jeruk apa aja sih. Tapi biasanya jeruk nipis kalau enggak jeruk-jeruk yang biasa dimakan langsung itu.
Di Purworejo numpang lahir doang, ahhaha. Gak tau namanya tapi kalo liat bentuknya mah kayaknya pernah liat.
HapusOalah...
HapusPemandangannya asik yah, udaranya pasti segar dan sejuk. Cocoknya sego yang agak pedes tuh
BalasHapusSego pedes bikin anget di badan, bang?
HapusMakin ke sini gue ngeliat tulisan Wisnu makin kayak kombinasi antara Yoga dan Febri. Goks.
BalasHapusSayangnya, saya belum bisa seruntut Yoga dan selucu Febri. *Belajar lagi sono, Nu*
HapusWqwqwq, ini maksud lu menceritakan kuliner dengan gaya cerpen?
HapusSungguh sego gablok makanan yang tak pernah saya tahu... bothoknya demen tapi. enak~
BalasHapusSelain di Cemoro Kandang, di terminal tawangmangu katanya juga dingin banget ya, Wis, AC-nya?
Maaf, pak, warga Cemoro Kandang nggak ada yang pasang AC, kayaknya. Mikir 2X kalau beneran mau pasang sih. Adem bener...
HapusEBUSET PANAS AMAT 41 DERAJAT! Di Bandung dapet 30 derajat aja jarang banget.
BalasHapusBtw aku belum nangkep nih bro, apa bedanya Sego Gablok dengan sego lainnya.
Bandung mah memang adem, bukannya?
HapusDari segi rasa mungkin, ini ada rasa gurih-gurihnya, mirip sego liwet.
wedew, sego gablok. saya taunya sego kucing doang. hehe..
BalasHapusitu lauknya apa ya? mirip-mirip botok gitu kelihatannya?
Apakah Mbak Thya tidak membaca tulisan ini? Apakah Mbak Thya termasuk orang-orang yang setelah baca judul, kemudian langsung menuju kolom komentar? :(
HapusWah, Mas Wisnu lama ngga main kesini editan fotonya makin cakep aja yaa. Hehe. Btw saya ngiler tuh sama strawberry-nya. Kalo di Makassar strawberry gini di supermarket aja hampir ngga pernah nemu. Susah. Asyik juga ya bisa beli dan makan strawberry sebakul gitu. Tapi itu harganya 50ribuan termasuk mahal apa murah ngga sih Mas?
BalasHapusPadahal cuma pakai preset lightroom doang (itupun hasil tutorial). Harganya 35 mbak, bukan 50. Saya kurang paham juga sih, makanya tak tulis "saya kurang paham masalah harga perstroberian" di paragraf ke berapa itu, lupa. He...
Hapusbeda orang emang beda kelakuan
BalasHapuskalo saat itu gue ngerasain 41 derajat panas, gue bakalan pulang, mandi, lalu rebahan. rasa lapar atau pun mau makan, enggak akan muncul. lebih milih buat minum air dingin.
gue baru tau, kalo banyak kopi kekinian yang ada di sepanjang jalan itu. gue terakhir ke wonogiri itu mungkin, 7 tahun lalu. kayaknya bakalan banyak juga yang berbeda uy.
gue belom pernah nyobain nasi gablok ini, jadi penasaran pengen nyoba uy
Gimana lagai, Zi, jiwa dan raga sudah pegen sekali berkunjung ke daerah Lawu. Yowes, langsung pancal aja, walau panasnya naudzubillah.
HapusBukan Wonogiri, tapi Kabupaten Karanganyar.
Ada sate kelinci juga, dari dulu penasaran banget ama tuh sate, cuma di sini nggak pernah nemu.
BalasHapusSaya juga belum pernah nyobain padahal *astaga!
Hapuswaduh ngiler aku bothoke suwe gak mbadhong bothok wkwkw
BalasHapusstroberine apik lek nata
aku kayake cuma rencana aja ke Tawangmangu tapi gak budal-budal.
kepingin solo traveling tapi kok aras-arasen.
eh mas maaf aku kok ngerasa ada beberapa kalimatmu yang kepanjangan ya. Menurutku lebih asyik kalau dipecah jadi dua atau tiga kalimat gitu. Soale udah dapet feel story telling-nya sih. Menjiwai banget. Eman, hehe. cmiiw yaaaa
Weh, makasih masukan'e mas. Aku yo ngroso ngono sih. Tak baca ulang habis publish, lah, tidak efektif sama sekali itu. *akibat tergesa-gesa mengejar deadline agar segera tayang di blog* xD
HapusKenapa aku bacanya nasi golbok sih, Maas! Wkwkwkk
BalasHapusNasi mie telorrrr andalankuu, soale ora doyan botok
Nasi golbok yo oleeeeh... ¬,¬
HapusIni nasinya dikukus lagi atau daun pisang tersebut kena panas nasi jadi warnanya agak beda ya? Sungguh menggiurkan kalau ada botoknya ahahhaha
BalasHapusDikukus lagi mas, jadi warna daunnya berubah agak kecokelatan gitu.
HapusKok ga difoto sekalian nu bakul molen n sate kelincine
BalasHapusItu yg stroberi aestetik bener deh pendekar wakakkakka
Ayo ndang megunung manih, etapi gek musim ujan ding, bahaya mbok lunyu
Klo harga stroberi mah aku biasane tertipu saking larange
Em baskara tu istilah sinonime matahari toh, nemu diksi anyar maneh #noted
Nggak sempet mbak, males mandeg-mandeg'e kalau mau moto bakul sate sama molen.
HapusPengen,tapi udah nggak ada temen yang ngajakin muncak. Sibuk-sibuk.
Siyap!
Pedes Ndak tu Nu...? Bothok e menggoda. Baru ngerti klo ada Tawangmangu punya Sego gablok.. mirip Sego bucu ne wonosobo koyone...
BalasHapusBtw, pertanyaanku di blogku yang bab apartemen ga usah tak jawab yaa...ha...ha, artikel placement...aku ga ngerti itu bayarnya perkamar ato perorang :-D
Aku baru tau ada kuliner ini, pernahnya pas mampir di daerah terminal tawangmangu aku masuk ke warung soto. Kalau tau ada yg unik gini, pasti milih jajal gablok 😁
BalasHapusKapan2 lah kalo bisa kesana lagi aku cobain.
Btw klo jalan pulang pasti kehujanan dan aku juga mesti mampir beli molen mini.
Jadi buat cemilan anget2 (campur air hujan) di motor sampe jebres haha
mantap banget mas kyak nihh hehe maakanan ny khas
BalasHapusOalaaah tiap mudik ke kampung suami di solo, aku pasti main ke Tawangmangu mas, tp cuma liat air terjun, Ama ke sip buntut Bu ugie. Blm pernah nyobain Sego gablok ini :D.
BalasHapusBothoknya kok bikin pengeeeen . Kalo bothok aku tau, Krn sering dibikin Ama asisten mama mertuaku. Sukaaa rasanya :D. Agustus besok aku planning ke solo Ama keluarga sbnrnya. Msh blm pasti sih, tp kalo jd pengen deh cobain kuliner2 nya lagi :).
Yakin udah di baca? Apa cuma di scroll doang?
Yaudah, yang penting jangan lupa komen yes?
Maturnuwun ^^